Jumat, 19 Oktober 2012

NYAWA TERENGGUT DALAM BIROKRASI KESEHATAN YANG CARUT MARUT


NYAWA TERENGGUT DALAM BIROKRASI KESEHATAN YANG CARUT MARUT

Ibu siti mistingah, perempuan usia 42tahun ini tervonis mengidap penyakit kanker cervix, anemia gravis, hipoalbumin, dan HN sedang bilateral di salah satu RS daerah di jawa timur. Berangkat dengan menggunakan status pasien umum dengan keadaan penyakit yang seperti itu mau tak mau istri bapak hasan malik ini pun harus mengajukan Jamkesmas/Jamkesda dalam mengobati penyakitnya. Beberapa hari di RS secara otomatis telah menguras harta yang mereka miliki.
Bertempat tinggal di tulungagung, dusun jeli Rt.04 Rw.01, bapak hasan malik mengurus Surat pernyataan miskin secepat-cepatnya, sebab pihak RS tidak mau melakukan tindakan medis apapun sebelum surat keterangan miskin (SKTM) itu diserahkan ke pihak administrasi RS. Surabaya-tulungagung bapak hasan pontang panting mengurus SKTM, sudah mendapat ACC dari desa hingga kecamatan, eh ternyata dari pihak kabupaten tidak bisa mengesahkan dengan alasan bahwa quota jamkesda daerah tulungagung habis.
Seminggu lebih ibu siti, sambil menunggu SKTM berada di RS tanpa ada tindakan medis yang spesifik. Pak hasan yang sudah putus asa, akhirnya mengadu ke Posko KTPA Jatim. Serta merta setelah mendapat pengaduan tersebut pihak KTPA melakukan desakan kepada pemerintah daerah tulungagung, namun hasilnya nihil. Hingga langkah berikutnya pada hari kamis (minggu terakhir Ramadhan) kami bertiga (tari, edy, nia) menemui direktur RS daerah tersebut untuk mendesak agar segera memberikan tindakan medis sebagai bentuk kebijakan RS. Ditemui oleh salah satu wakil direktur, Dr…., beliau memaparkan kekehannya dengan mengatakan “ini semua sudah system, tidak bisa dilanggar”. Perdebatan pun semakin ramai, hingga akhirnya dr tersebut memberi keputusan “bahwa akan mendiskusikan kasus ini terlebih dahulu dengan pihak RS”. Selang sejam dari pertemuan itu, dr tersebut menelphon dan berkata “kami akan melakukan tindakan medis untuk ibu mistingah, dengan catatan untuk kali ini saja”.
Esok hari, operasi belum juga dilaksanakan, intervensi kami tidak berhenti dalam beberapa hari tersebut, dan pada akhirnya RS mengeluarkan surat operasi untuk ibu mistingah yang akan dilaksanakan esok hari, dan siang hari itu surat operasi harus ditanda tangani oleh pihak keluarga. Ya… apa boleh dikata, malam hari seusai penanda tanganan surat tersebut Ibu mistingah meninggal dunia.
Operasi belum dilakukan, dana kesehatan tidak jadi keluar,  nyawa melayang.
Siapakah yang senang?
Siapakah yang bertepok tangan?
Apakah seperti ini yang sesuai dengan pancasila dan UU 45?


PDF Cetak E-mail


Selasa, 09 Oktober 2012

Kamis, 02 Agustus 2012

Pasien JAMPERSAL harus bayar 1.600.000

Ibu latifah dan bayinya, merupakan pasien JAMPERSAL di salah satu Rumah Sakit Daerah di Jawa Timur yang harus berlama-lama menginap di Rumah Sakit dan tidak boleh pulang sebelum membayar biaya persalinan sebesar kurang lebih Rp.1.600.000. Istri bapak Basori ini selalu menangis ketika para tim relawan posko pengaduan KTPA menjnguknya, "saya dari mana pak membayar uang sebanyak itu? bapak e kerja e cuma bakar arang, gajinya 100 ribu/minggu?" ungkapnya pada salah satu relawan.

keterlambatan dalam mengurus kartu JAMPERSAL itulah menjadi alibi Rumah Sakit untuk mengeluarkan tagihan tersebut. Para relawan telah mengusahakan dengan berbagai cara menggratiskan tagihan, hal tersebut didasarkan atas pembukaan UUD 45 "bahwa negara wajib menjamin kesehatan rakyat". namun semua mental, RS tidak memiliki kebijakan, yg mereka punya hanya aturan, dan RS hanya sebagai pelaksana, tidak memiliki otoritas lebih (ungkap salah satu dokter). hingga akhirnya ibu latifah dan bayinya bisa pulang, ketika beliau menandatangani kesepakatan tagihan tersebut dibayar secara mencicil /bln 150.000.

sungguh ironi, uang uang rakyat, namun betapa ribet dan sulitnya rakyat menikmati uangnya sendiri?????