NYAWA TERENGGUT DALAM BIROKRASI KESEHATAN YANG CARUT MARUT
Ibu siti mistingah, perempuan usia 42tahun ini tervonis
mengidap penyakit kanker cervix, anemia gravis, hipoalbumin, dan HN sedang
bilateral di salah satu RS daerah di jawa timur. Berangkat dengan menggunakan
status pasien umum dengan keadaan penyakit yang seperti itu mau tak mau istri
bapak hasan malik ini pun harus mengajukan Jamkesmas/Jamkesda dalam mengobati
penyakitnya. Beberapa hari di RS secara otomatis telah menguras harta yang
mereka miliki.
Bertempat tinggal di tulungagung, dusun jeli Rt.04 Rw.01,
bapak hasan malik mengurus Surat pernyataan miskin secepat-cepatnya, sebab
pihak RS tidak mau melakukan tindakan medis apapun sebelum surat keterangan
miskin (SKTM) itu diserahkan ke pihak administrasi RS. Surabaya-tulungagung
bapak hasan pontang panting mengurus SKTM, sudah mendapat ACC dari desa hingga
kecamatan, eh ternyata dari pihak kabupaten tidak bisa mengesahkan dengan
alasan bahwa quota jamkesda daerah tulungagung habis.
Seminggu lebih ibu siti, sambil menunggu SKTM berada di RS
tanpa ada tindakan medis yang spesifik. Pak hasan yang sudah putus asa,
akhirnya mengadu ke Posko KTPA Jatim. Serta merta setelah mendapat pengaduan
tersebut pihak KTPA melakukan desakan kepada pemerintah daerah tulungagung,
namun hasilnya nihil. Hingga langkah berikutnya pada hari kamis (minggu
terakhir Ramadhan) kami bertiga (tari, edy, nia) menemui direktur RS daerah
tersebut untuk mendesak agar segera memberikan tindakan medis sebagai bentuk
kebijakan RS. Ditemui oleh salah satu wakil direktur, Dr…., beliau memaparkan
kekehannya dengan mengatakan “ini semua sudah system, tidak bisa dilanggar”.
Perdebatan pun semakin ramai, hingga akhirnya dr tersebut memberi keputusan
“bahwa akan mendiskusikan kasus ini terlebih dahulu dengan pihak RS”. Selang
sejam dari pertemuan itu, dr tersebut menelphon dan berkata “kami akan
melakukan tindakan medis untuk ibu mistingah, dengan catatan untuk kali ini
saja”.
Esok hari, operasi belum juga dilaksanakan, intervensi kami
tidak berhenti dalam beberapa hari tersebut, dan pada akhirnya RS mengeluarkan
surat operasi untuk ibu mistingah yang akan dilaksanakan esok hari, dan siang
hari itu surat operasi harus ditanda tangani oleh pihak keluarga. Ya… apa boleh
dikata, malam hari seusai penanda tanganan surat tersebut Ibu mistingah
meninggal dunia.
Operasi belum dilakukan, dana kesehatan tidak jadi keluar, nyawa melayang.
Siapakah yang senang?
Siapakah yang bertepok tangan?
Apakah seperti ini yang sesuai dengan pancasila dan UU 45?