Anak
adalah suatu potensi tumbuh kembang suatu bangsa di masa depan, yang
memiliki sifat dan ciri khusus. Kekhususan ini terletak pada sikap dan
perilakunya di dalam memahami dunia, yang mesti dihadapinya. Oleh
karenanya Anak patut diberi perlindungan secara khusus oleh negara
dengan Undang-Undang. Perkembangan jaman, dan kebutuhan akan
perlindungan anak yang semakin besar mendesak kita untuk memikirkan
secara lebih, akan hak-hak anak karena di bahu merekalah, masa depan
dunia tersandang.
Isi UU Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997:
- Batas usia Anak yang diatur dalam peradilan anak adalah 8 hingga 18 tahun Pelaku tindak pidana anak di bawah usia 8 tahun diatur dalam Undang-Undang Peradilan Anak: “Akan diproses penyidikannya, namun dapat diserahkan kembali pada ortunya atau bila tidak dapat dibina lagi diserahkan pada Dep Sosial. “
- Aparat hukum yang menjalankan proses peradilan anak adalah aparat hukum yang mengerti masalah anak terdiri dari Penyidik anak, Penuntut Umum anak, Hakim anak, Hakim Banding anak dan Hakim Kasasi anak.
- Orang tua/wali/orang tua asuh dan petugas kemasyarakatan yang berwenang dapat mendampingi anak selama proses pemeriksaan anak di persidangan.
- Petugas pada Balai Pemasyarakatan (BAPAS)adalah petugas kemasyaratan yang berwenang untuk memberikan hasil penelitian atas segi ekonomi, kehidupan sosial kemasyarakatan dan motivasi anak yang melakukan perbuatan pidana.
- Penjatuhan pidana penjara pada anak dalam perkara anak adalah separoh dari ancaman maksimal orang dewasa
- Masa penahanan anak lebih singkat dari masa penahanan orang dewasa.
- Sidang anak ialah sidang tertutup untuk umum dengan putusan terbuka bagi umum.
- Pemberian kesempatan pembebasan bersyarat dengan masa percobaan bagi anak yang menjalani pidana, apabila telah menjalani sekurang-kurangnya sembilan bulan dan telah menjalani 2/3 dari pidana penjara yang dijatuhkan dan berkelakuan baik, serta;
- Adanya kesempatan Anak untuk dilepas dari penjara setelah menjalani hukumannya, dengan permohonan izin dari Kalapas yang menyampaikan permohonannya kepada Menteri Kehakiman dengan permohonan izin agar anak dapat dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan dengan atau tanpa syarat, apabila Kalapas berpendapat bahwa anak negara tidak memerlukan pembinaan lagi setelah menjalani masa pendidikannya dalam lembaga paling sedikit satu tahun dan berkelakuan baik sehingga tidak memerlukan pembinaan lagi.
UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002:
- Anak yang diatur dalam UU Perlindungan Anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Hal ini karena UU Perlindungan anak juga melindungi keperdataan anak dimana aturan ini berhubungan dengan aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni aturan mengenai Orang, dimana apabila kepentingan anak menghendaki, anak yang berada dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah ada, sedangkan anak yang mati pada saat dilahirkan dianggap tidak pernah ada. Jadi Anak di dalam Undang-Undang ini diatur batasan usianya dari sejak dalam kandungan seorang perempuan hingga usia 18 tahun.
- Penangkapan, penahanan atau pidana penjara anak hanya dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan sebagai upaya terakhir, apabila upaya lain bagi anak yang melakukan perbuatan pidana, seperti dikembalikan kepada orang tuanya, ataupun diserahkan kepada Departemen Sosial untuk dibina, tidak dapat lagi dilakukan.
Anak
yang berkonflik dengan hukum merupakan istilah internasional yang
digunakan terhadap anak yang disangka, didakwa maupun dipidana dalam
masalah hukum. Dalam KHA, anak yang berkonflik dengan hukum ini
dikategorikan ke dalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Salah
satunya dinyatakan dalam pasal 37 KHA: "Tidak seorang anak pun dapat
dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan
sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak
harus sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya
terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat."
Dalam
berbagai regulasi nasional, ada beberapa penyebutan untuk anak yang
berkonflik dengan hukum. Dalam UU Pengadilan Anak disebut anak nakal,
sementara dalam UU Perlindungan Anak terdapat dua penyebutan, yakni anak
yang berhadapan dengan hukum dan anak yang berkonflik dengan hukum.
Apapun sebutannya, yang terpenting adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan anak harus dilakukan dengan mempertimbangan kepentingan terbaik
bagi anak, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku. Penegak hukum
harus mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak dalam proses
penegakan hukum. Salah satunya dengan menggunakan alternatif hukuman
lain selain pidana formal. Misalnya dengan mengembalikan kepada orangtua
atau menempatkan mereka di pusat-pusat pembinaan. Jadi anak yang
tertangkap tangan melakukan kejahatan tidak langsung ditangkap, ditahan
dan diajukan ke pengadilan, tetapi harus menjalani proses-proses
tertentu seperti pendampingan dan konseling untuk mengetahui apa yang
menjadi kepentingan terbaik bagi mereka.
Untuk
mencegah masalah-masalah sejenis di masa mendatang, ada beberapa hal
yang harus diperhatikan penegak hukum dalam rangka mempertimbangan
kepentingan terbaik bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Pertama mengenai usia pertanggunjawaban pidana. Hal
ini bermanfaat agar tidak sembarang anak dapat dibawa ke proses hukum,
tetapi berdasarkan usia yang sudah ditetapkan. Indonesia menetapkan
seorang anak dapat dibawa ke proses peradilan mulai dari usia delapan
tahun. Usia ini sebenarnya sangat rendah. Di banyak negara usia
pertanggungjawaban pidana antara 12-17 tahun. Seringkali usia ini
menjadi masalah karena banyak anak tidak memiliki akta kelahiran
sehingga sulit untuk mengasumsikan usia anak yang tidak diketahui
usianya. Kondisi ini menyebabkan anak diberlakukan seperti orang dewasa
saat berhadapan dengan hukum. Padahal berdasarkan Asian Guidelines for Child Trafficking dinyatakan bahwa apabila usia anak sulit ditebak, maka dia harus diasumsikan sebagai anak.
Kedua mengenai proses hukum dan sistim administrasi peradilan anak.
Mulai dari tahap penyidikan, persidangan dan pemenjaraan seringkali
sebagai tempat dilanggarnya hak-hak anak. Pada tahap awal proses
penyidikan, semestinya orangtua anak harus telah diberitahukan mengenai
kondisi anak. Bila orangtua tidak ada, maka harus dipilih walinya.
Selanjutnya anak harus mendapatkan pendampingan, baik pendampingan untuk
proses konseling oleh psikolog, maupun pendamping hukum dengan biaya
yang ditanggung negara.
Pendamping
hukum sangat penting dalam proses hukum yang dialami anak. Anak adalah
warga negara yang belum dewasa, tidak memiliki kemampuan hukum (consent)
untuk melakukan perbuatan hukum. Untuk itu, anak yang berkonflik dengan
hukum harus melibatkan orangtua/wali maupun pendamping, khususnya
pendamping hukum sebagai orang yang memiliki consent untuk
menuntut hak asasi mereka dalam proses hukum tersebut. Proses
pemeriksaan juga harus dilakukan dengan tata cara ramah anak, seperti
dilakukan orang yang ahli dalam bidang anak berdasarkan persetujuan
anak, dalam bahasa yang dimengerti anak dan bila bahasa itu tidak
dimengerti harus diberikan penerjemah. Anak harus diberikan kesempatan
beristirahat, privacy terjamin dan tentu saja tanpa kekerasan
terhadap anak. Selanjutnya dalam proses peradilan, hakim dan jaksa tidak
boleh mengenakan toga karena akan menimbulkan ketakutan dan dampak
psikologis lainnya bagi anak.
Ketiga mengenai kesehatan.
Perawatan kesehatan fisik dan psikis anak sering tidak menjadi
perhatian negara selama anak menjalani proses penahanan dan pemidanaan.
Bahkan dalam banyak kasus anak mengalami kekerasan fisik baik yang
dilakukan oleh aparat negara, maupun sesama tahanan/narapidana lainnya.
Keempat mengenai pendidikan.
Anak yang melakukan tindak pidana umumnya dikeluarkan dari sekolah,
padahal belum ada keputusan tetap yang mengikat, apakah anak tersebut
bersalah atau tidak, sehingga menyalahi prinsip praduga tak bersalah dan
tentunya menghilangkan hak anak atas pendidikan. Harus diingat,
pemenjaran hanya menghilangkan hak bergerak seseorang, sementara hak-hak
lainnya tetap wajib didapatkan. Jika seorang anak dipidana penjara,
maka seluruh hak-haknya yang lain wajib diberikan, misalnya hak atas
pendidikan, hak untuk terbebas dari tindak kekerasan dan sebagainya.
Tips
Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan penegak hukum
dalam rangka mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak yang
berkonflik dengan hukum, diantaranya :
Pertama mengenai usia pertanggunjawaban pidana. Hal ini bermanfaat agar tidak sembarang anak dapat dibawa ke proses hukum, tetapi berdasarkan usia yang sudah ditetapkan.
Kedua mengenai proses hukum dan sistim administrasi peradilan anak. Mulai dari tahap penyidikan, persidangan dan pemenjaraan seringkali sebagai tempat dilanggarnya hak-hak anak.
Ketiga mengenai kesehatan.
Perawatan kesehatan fisik dan psikis anak sering tidak menjadi
perhatian negara selama anak menjalani proses penahanan dan pemidanaan.
Keempat mengenai pendidikan.
Anak yang melakukan tindak pidana umumnya dikeluarkan dari sekolah,
padahal belum ada keputusan tetap yang mengikat, apakah anak tersebut
bersalah atau tidak, sehingga menyalahi prinsip praduga tak bersalah dan
tentunya menghilangkan hak anak atas pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar