Perempuan

Bersama PMII Malang dalam Pengembangan Kader Perempuan JATIM

“Perempuan tidak boleh diam. Karena seluruh kebijakan pemerintah juga mempengaruhi kehidupan perempuan. Dan kebijakan itu adalah hasil keputusan politik. Jika ingin turut serta dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, maka harus mau terjun dalam dunia politik”. Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Bidang Tenaga Kerja, Kesehatan, Perempuan dan Anak DPD PDI Perjuangan Jatim, ibu Hari Putri Lestari, SH, MH. Hal tersebut disampaikan dalam Sarasehan”Peran Perempuan dalam Pengembangan jawa Timur” pada tanggal 1 Juni 2012 di gedung Pascasarjana UIN Malang yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kader Putri  (LP2KP), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Sunan Ampel Malang.

Ibu Hari Putri Lestari menjelaskan lebih lanjut bahwa selama ini meskipun paket UU Politik telah menjamin adanya affirmative action 30% kuota untuk perempuan, namun faktanya tidak semudah itu bagi perempuan untuk bisa masuk ke dalam dunia politik. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Hal ini juga dipertegas oleh Dr. Hj. Istiadah, MA, salah satu narasumber dari Akademisi UIN Malang. Bahwa selama ini masih kuat stereotype negative di masyarakat yang justru menghambat bagi perempuan untuk terjun dalam politik seperti anggapan bahwa perempuan tidak bisa mengambil keputusan secara rasional, dll.

Padahal permasalahan perempuan di Jawa Timur masih banyak yang belum terselesaikan. Seperti disampaikan oleh Dra. Hj. Uji Asiyah, M.Si dari PW Muslimat Jawa Timur, bahwa angka kekerasan terhadap perempuan masih cukup tinggi. Perlu ada kebijakan khusus  untuk mengatasi hal tersebut.

Oleh karenanya ibu Hari Putri Lestari menghimbau sekaligus menantang kader-kader putri yang berkualitas untuk ikut terjun ke dalam dunia politik dan turut mengambil peran dalam pembangunan Jawa Timur yang lebih baik.

-----------------------------------------------------------------------

 

UU PRT Tak Bisa Ditawar, Sahkan!

RANCANGAN undang-undang untuk pekerja rumah tangga (PRT) tak jelas kelanjutannya. Nasib PRT pun dalam pertaruhan. Beruntung bagi PRT yang dapat majikan baik hati. Sebaliknya, buntung bagi yang dapat majikan pelit dan suka main tangan.
Pagi menjelang siang di sebuah perumahan di sudut Surabaya. Tiga perempuan muda, Siti, Mina, dan Sri terlihat ngobrol di depan sebuah rumah. Sejenak bersantai setelah rutinitas pagi di rumah majikan. Memasak, bersih-bersih rumah, dan menyiapkan sarapan majikan sebelum berangkat kerja.

Toh, ketiganya tak betul-betul santai di siang itu. Sebab tiga dari perempuan itu masih harus momong bayi sang tuan. Seorang lainnya, menunggu datangnya pembeli di toko sang majikan.

Ketiga perempuan ini, di masyarakat kerap disebut sebagai pembantu. Ada 10 juta lebih rakyat Indonesia seperti ketiganya yang menjadi PRT baik di dalam maupun luar negeri. Data itu pun sebetulnya tak mewakili kenyataan sesungguhnya. Sebab, bisa dipastikan jumlahnya jauh lebih besar.

"Data itu hasil penelitian cepat. Kalau pastinya, belum ada yang akurat. Tapi saya pastikan jumlahnya jauh lebih besar," kata Ketua Departemen Perempuan DPD PDI Perjuangan Jatim, Silvia Kurnia Dewi SH, Jumat (24/2).

Para PRT itu, adalah pekerja rumahan yang tak jelas bidang kerjanya. Yang tumpang tindih antara jam istirirahat dan jam kerja, termasuk lama jam kerjanya. Dan, tentu saja, tak jelas berapa upah yang diterima dari majikan. �Hasil penelitian yang kami lakukan, jam kerja pekerja rumah tangga rata-rata 16 jam perhari. Bangun paling awal di antara penghuni rumah lainnya (majikan dan anak-anaknya), dan tidur paling malam,� kata Silvia.

Ironisnya, dengan jam kerja dan berbagai jenis pekerjaan yang dilakoni tak sebanding dengan upah yang diterima. Sebab, hingga sekarang tak ada standar upah minimum untuk para PRT yang diatur oleh sebuah aturan hukum seperti halnya upah buruh di pabrik. Kalau pun ada yang mendapat upah layak, tak lebih hanya sebuah kemujuran.

�Di Surabaya, rata-rata Rp 300.000 sampai 500.000 per bulan. Kalau ada yang dapat di atas satu juta, itu keberuntungan. Kebetulan saja pas dapat majikan yang baik hati,� terang perempuan yang akrab disapa Fifi ini.

Untung-untungan alias gambling juga terjadi untuk urusan keselamatan PRT. Sebab, tak sedikit PRT yang menjadi korban kekerasan fisik, maupun mental, yang dilakukan majikan. Dan, lagi-lagi, karena tak ada regulasi yang mengatur secara khusus perlindungan untuk PRT. "Kasus Marlena contohnya," terang Silvia. Kasus yang kini berada di meja pengadilan itu mendudukkan Marlena sebagai korban kekerasan fisik diduga dilakukan sang majikan.

Nah, di zaman moderen seperti saat ini, tambah Silvia, warga negara tak boleh dibiarkan dalam ketidakpastian hukum seperti era feodal. Apalagi, kata dia, konstitusi tertetinggi di negeri ini, UUD RI 1945 menyebut dengan jelas, warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Sejauh ini negara tak ada niat serius memperbaiki kesejahteraan dan memberikan perlindungan untuk PRT. Betapa tidak, sejak dimulainya perjuangan membuatkan kerangka hukum untuk PRT pada 2005 lalu, hingga saat ini tak jelas jluntrungannya. Pembahasan di DPR RI pun kembali gagal pada 2011 lalu. "Tahun ini rencananya kembali dibahas. Rakyat tinggal lihat saja, sejauh mana wakil rakyat dan pemerintah peduli pada PRT," tandas Silvia.

Gaung RUU itu sendiri sebetulnya sudah terdengar di kalangan PRT. Mereka berharap agar RUU segera disahkan. Di Surabaya sendiri, jelas dia, sebagian PRT sudah mulai berserikat dan mengorganisasikan diri. Tujuan PRT berserikat tak lain karena tak ingin terus-terusan hidup miskin. Termasuk untuk sekadar upaya melindungi diri ketika mendapatkan perlakukan buruk dari majikan.

"Harus segera ada regulasi yang hubungan kerja antara PRT dan majikan. Itu sebagai bentuk perhatian negara untuk menyejahterakan dan melindungi warganya. Undang-undang untuk PRT tidak bisa lagi ditawar, harus segera disahkan," pungkas Silvia. (her)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar