POLITIK PEREMPUAN
Silvia Kurnia Dewi
(Departemen Perempuan DPD PDI Perjuangan Jatim)
Politik secara umum dapat
diartikan sebagai proses pembentukan atau pembagian kekuasaan yang berwujud
dalam pembuatan keputusan. Secara khusus, 'politik perempuan‘ diartikan usaha, kegiatan dan upaya yang bertujuan
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dan perundangan dalam berbagai hal yang
berdampak langsung bagi kaum perempuan.
Saat ini kebutuhan hidup
sehari-hari semakin tidak terjangkau bagi sebagian kalangan. Harga daging yang
tidak terjangkau bahkan bagi pedagang sekalipun juga mempersulit rakyat. Harga
kebutuhan pokok yang semakin melambung tidak diikuti dengan penghasilan yang
melambung juga. Rakyat miskin semakin miskin, sementara yang kaya semakin kaya.
Siapa yang paling dirugikan? Tentu saja rakyat miskin. Namun, perempuanlah yang
paling merasakan dampaknya? Mengapa?
Karena perempuan adalah
‘bendahara’ rumah tangga. Perempuan yang paling tahu total pengeluaran
sehari-hari. Dan perempuan pula yang harus mengelola agar pengeluaran tidak
lebih besar dari pemasukan. Namun seringkali perempuan juga disalahkan karena
dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Oleh karenanya perempuan
dipaksa memutar otak agar kebutuhan keluarga tercukupi dan anggota keluarga terjamin
kesejahteraannya. Disadari atau tidak sebenarnya perempuan telah berpolitik.
Sebagian orang menganggap bahwa
berpolitik merupakan sesuatu yang buruk, kasar, kotor dan hal-hal negative
lainnya. Namun banyak yang tidak memahami bahwa sebenarnya berpolitik itu
sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari. Ruang lingkup politik bisa berada
di ranah publik yaitu di masyarakat,
negara (eksekutif, legislatif,
yudikatif, partai politik, kebijakan negara). Namun politik juga bisa berada di
ranah domestik yaitu di ranah keluarga
(perkawinan, kesejahteraan, dll). Perempuan tidak menyadari bahwa didalam ranah
privat dan domestiknya dibutuhkan sebuah proses politik.
Politik selalu dibayangkan
sebagai sesuatu yang formal-partai, negara, keras, kotor, kejam dan itu jauh
dari keseharian perempuan. Faktanya, berpolitik tidak lepas dari keseharian
perempuan itu sendiri. Misalnya, perempuan tidak mempunyai peluang dan
kekuasaan dalam urusan dirinya sendiri, keluarga : perkawinan, melahirkan, KB,
pekerjaan dll.
Konstitusi menjamin hak Perempuan
untuk mengambil keputusan untuk
dirinya sendiri, untuk
memilih dan dipilih, untuk
berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik dan memegang jabatan disemua
tingkatan pemerintahan, untuk berorganisasi yang berhubungan
dengan kehidupan masyarakat
dan politik negara serta untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan lembaga negara yang menyimpang
dari kewenangannya.
Namun selama ini perempuan
dipandang hanya sebagai penerima kebijakan publik, bukan sebagai bagian dari actor.
Partisipasi politik perempuan juga rendah dikarenakan stereotipe bahwa
perempuan lemah, tidak rasional, hanya mampu mengurusi urusan domestik dll.
Berbagai masalah yang menimpa
perempuan seperti Kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi, kemiskinan dan
lain-lain, akan lebih cepat dapat diselesaikan dengan adanya kebijakan yang
melindungi perempuan. Kualitas hidup perempuan tidak bisa dipisahkan dari
kebijakan publik yang dibuat oleh lembaga politik.
Namun selama ini perempuan justru
menghindari berkiprah dalam politik atau peluang perempuan terbatas untuk
berkecimpung dalam politik. Hal ini dikarenakan Keterbatasan pengetahuan
perempuan tentang politik serta munculnya berbagai stigma tentang politik
(kotor, kejam, keras) membuat perempuan cenderung enggan. Selain itu, stereotipe
yang dilekatkan pada perempuan bahwa perempuan itu lemah, tidak tegas, tidak
mampu memimpin, dll membuat perempuan semakin tidak percaya diri. Kurangnya
dukungan dari pengambil kebijakan
tentang “afirmative action” bagi perempuan juga turut mempengaruhi
minimnya partisipasi perempuan dalam politik.
Sudah saatnya hal-hal tersebut
diubah. Antara lain dengan meningkatkan pemahaman perempuan tentang politik dan
meluruskan stigma negative tentang politik. Perempuan harus mulai berpartisipasi
dalam perumusan kebijakan, mulai dari level RT hingga pusat agar kebutuhan
perempuan dapat diakomodir. Tentunya dengan diimbangi dengan pemberdayaan untuk
peningkatan kapasitas perempuan agar
terlibat dalam pembuatan kebijakan dan
kepemimpinan. (Red)